Sekolah berperan sebagai wahana penanaman kesadaran nilai-nilai keutamaan untuk generasi mendatang. Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan hidup bagi generasi mendatang mendesak untuk diupayakan, dalam konteks kerusakan lingkungan yang kian masif saat ini. Kesadaran ekologis meski digalakkan lewat edukasi, secara partisipasif, dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Ketidakpedulian kita sebagai penyelenggara pendidikan terhadap masalah ekologi sama halnya dengan membiarkan kejahatan terjadi. Ironisnya dalam kontek kesadaran ekologis, tanpa sadar generasi masa kini atau bahkan kita sebagai pemangku pendidikan, kadang menjadi pelaku kejahatan ekologis itu sendiri. Bentuk konkretnya, melalui cara, pola dan sikap hidup yang tidak ramah lingkungan. Pola perilaku yang tidak memikirkan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan hidup. Ketidaksadaran dalam hidup, ujung-ujungnya akan melahirkan kejahatan ekologis. Pola hidup yang konsumtif, memiliki pakaian yang berlebihan bisa menjadi bagian dari kejahatan penimbunan sampah. Pola hidup makan-minum yang berlebihan menjadi bagian dari kejahatan eksploitasi hak orang-orang miskin yang berkekurangan.
Kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat, apalagi jenis sampah yang tidak dapat terurai dalam waktu dekat, merupakan bentuk kejahatan terhadap polusi tanah. Tidak peduli terhadap kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan atau bahkan malah memotong atau menebang pohon secara tak terkendali, ini sebuah tindakan kejahatan terhadap ketersediaan oksigen yang merupakan kebutuhan paling pokok dalam hidup manusia. Vandalisme yang marak terjadi, bentuk kejahatan kebersihan dan keindahan, lebih dari itu vandalisme bisa menjadi bagian dari kejahatan moral. Bahkan tidak mematikan lampu yang tidak dipergunakan sudah menjadi bagian kejahatan eksploitasi sumberdaya energi listrik.
Nampaknya ketiadaan peraturan sarana pembinaan lingkungan menyebabkan seseorang cenderung melakukan sesuatu yang tidak peduli pada tata lingkungannya. Seseorang warga terpaksa membuang sampah ke sembarang tempat karena tiada bak-bak sampah tersedia secara memadai. Para industriawan terpaksa membiarkan pabrik industrinya mencemarkan lingkungan atau kemungkinan membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia karena tiadanya sarana-sarana pengolahan limbah (effluent treatment plant), saluran-saluran limbah (sewarage), sarana-sarana pencegah pencemaran berupa saringan air (filter), alat penjernih limbah, tempat penampungan (bunker), cerobong-cerobong asap yang memadai, alat pengaman (safety). Masih banyak lagi contoh yang dapat ditemukan dalam kontek ketidakpedulian terhadap ekologi.
Kecenderungan umum. orang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya lebih mengejar keuntungan ekonomi semata dan tidak mempertimbangkan risiko yang terjadi pada lingkungan dan keselamatan manusia. Sikap mental egois mementingkan diri sendiri (egocentris) berupa keinginan yang tak terkendali dalam memenuhi faktor ekonomi, kebutuhan hidup akan menjadi monster bagi kelestarian lingkungan hidup. Sikap mental egosentris menjadikan manusia kehilangan fungsi panca indra. Mempunyai telinga tetapi tidak mendengar, menjadi tuli terhadap masalah-masalah ekologis. Mempunyai mata tetapi tidak melihat, menjadi buta terhadap kejahatan-kejahatan ekologis. Mempunyai tangan tetapi tidak meraba, tidak mau berbuat sesuatu demi kelangsungan hidup hayati. Albert Enstain, mengatakan, dunia tidak akan hancur oleh kejahatan, namun oleh mereka yang melihat terjadinya kejahatan, tetapi tidak berbuat apa-apa. Pelaku pendidikan generasi masa kini dipanggil untuk membangun kesadaran hidup baru ekologis, menyebarkan virus anti krisis ekologi kepada generasi mendatang. Sekolah sebagai “kereta angkut” tempat dan strategis untuk memerangi masalah-masalah ekologi tersebut. Kita dipanggil untuk mengedukasi peserta didik yang mempunyai mata, namun belum bisa melihat, disadarkan untuk bisa melek dan melihat. Peserta didik yang mempunyai telinga, namun belum bisa mendengar, wajib diajari untuk bisa mendengarkan. Peserta didik yang mempunyai tangan, namun belum bisa meraba dilatih supaya dapat meraba. Meraba dalam artian, berbuat sesuatu tindakan yang nyata untuk mengatasi masalah krisis ekologi.
Program sekolah adiwiyata adalah salah satu sarana untuk pengentasan krisis ekologi. Beberapa sekolah yang telah mengambil program adiwiyata, memulai dengan gerakan-gerakan sadar lingkungan, seperti gerakan anti plastik, anti sterefoam, gerakan penanaman pohon, dan lainlain. Untuk mengurangi sampah plastik dan sterefoam, peserta didik diminta untuk tidak memakai sarana plastik atau sterefoam sekali pakai diganti dengan masing-masing membawa tambler. Kantin sekolah tidak diperkenankan menjual makanan dengan kemasan plastik dan sterefoam. Bahkan ada sebuah sekolah yang mewajibkan semua peserta didiknya membawa gelas dan piring sendiri ke sekolah untuk makan di kantin supaya tidak ada sampah yang dihasilkan dari kantin sekolah. Gerakan peniadaan sampah sebuah kreativitas yang patut diapresiasi daripada sekedar pemilahan sampah.
Pendidik masa kini dipanggil untuk turut serta berpartisipasi sebagai pelaku utama membangun kesadaran baru hidup ekologis. Dalam program adiwiyata ada tiga prinsip dalam membangun budaya peduli lingkungan: Edukatif, Partisipatif, dan Berkelanjutan. Edukasi, berarti para pelaku pendidikan dituntut kreatif memasukkan materi peduli kelestarian lingkungan hidup ke masing-masing mata pelajaran. Mengkolaborasi relevansi isi materi pembelajaran berkaitan dengan masalah ekologis. Partisipati, program peduli lingkungan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh segelitir pemangku kepentingan, namun harus bersinergi melibatkan semua unsur sekolah, yaitu pendidik, peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua, masyarakat sekitar, dan instansi terkait. Berkelanjutan, suatu yang sudah dimulai terus dijaga kelestariannya, terusmenerus diperbaharui dan dirawat kelangsungan hidupnya.
Eco Camp
Sejauh penulis mengetahui di Bandung ada sebuah komunitas yang fokus memperhatikan mengenai lingkungan hidup. Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup (Eco Camp) di Jalan Ir. Juanda, Pakar Barat No 3 Ciburial, Cimeyan, Bandung. Penulis pernah mengikuti salah satu program pelatihan di yayasan ini. Peserta diajak membangun kesadaran hidup baru ekologis melalui: edukasi, partisipasi, dan menjadi penyebar virus peduli kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan. Dengan mengalami langsung hidup di komunitas Eco Camp, penulis dapat mengambil kesimpulan untuk membangun kesadaran hidup baru ekologis pertama-tama dimulai dari kesadaran diri, menjadi pribadi yang berkualitas, pribadi yang sederhana, pribadi yang hemat dan peduli.
Jika manusia mau jujur pada diri sendiri sebenarnya banyak hal yang harus diperbaiki. Banyak tindakan manusia yang tanpa sadar berujung pada kejahatan ekologis. Berefleksi menjadi salah satu sarana memaknai peristiwa hidup, untuk membangun pribadi yang berkualitas. Menjadi pribadi yang berkualitas, mulai dari mengenali potensi diri, mengenali kecenderungan negatif, tahu kekuatan dan kelemahan diri dan akhirnya pribadi yang mampu mengelolanya menjadi pribadi yang mandiri. Latihan menjadi orang yang berkualitas mulai dari hal-hal yang sangat sederhana. Hidup mandiri tidak terlalu tergantung kepada bantuan orang lain, melakukan pekerjaan sendiri, seperti membersihkan, mengatur kamar sendiri, mengatur kerapihan dan kebersihan rumah sendiri, cuci gelas dan piring sendiri. Tertib membuang sampah pada tempatnya dengan memperhatikan jenis sampahnya dan harus dipilahkan. Semua bentuk aktivitas selalu dipikirkan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan hidup. Bertindak cerdas terhadap kelestarian lingkungan mulai dari hal-hal sederhana.
Membiasakan pola hidup sederhana. Gaya hidup ekologis itu intinya adalah hidup sederhana. Tidak berlebihan dalam hal makan, pakaian, kepemilikan. Kecenderungan masyarakat sekarang, banyak orang muda tidak suka makan sayur. Padahal makan sayur, dan lauk pauk non daging sebagai makanan yang sehat dan murah. Kesederhanaan juga diterapkan dalam hal pola pikir. Membiasakan pola hidup hemat. Dalam suatu sesi penyadaran bersama, penulis tergelitik oleh ungkapan salah satu narasumber yang kebetulan adalah Pembina Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup Eco Camp, atas jawaban salah satu pertanyaan “mengapa kita harus hemat?”. Jawabannya lugas: “Demi keadilan sosial (Social justice).” Kita juga menerapkan pola hidup hemat dalam penggunaan listrik. Di kota besar, malam itu dijadikan seperti siang, padahal banyak daerah yang belum mendapat suplai listrik. Untuk kebutuhan penerangan, di sini kita menggunakan listrik tenaga surya. Kita meminimalkan penggunaan listrik dari PLN.
Menarik, di sini kami juga menelaah peribahasa hemat pangkal kaya. Bagi kami, hemat pangkal kaya ini bersifat egosentris. Kalau kita hemat, yang kaya adalah diri kita sendiri. Dengan rumusan yang berbeda, di sini kami mengatakan hemat pangkal selamat. Karena ketika kita bisa menghemat air. Listrik, dan sumber daya yang lainnya, bukan hanya kita yang selamat tetapi orang lain juga bahkan generasi yang akan datang pun ikut merasakannya. Hemat yang ekosentris ini selanjutnya akan menumbuhkan kepedulian”. Dari sharing tadi, kita dapat memetik hikmah bahwa peduli masalah lingkungan hidup, menjaga kelestarian lingkungan hidup pertama-tama dimulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, unit kerja dan akhirnya masyarakat.
Membangun kepekaan hati untuk peduli. Kepedulian dibangun mulai dari kepedulian terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. Banyak orang saat ini bahkan kepada dirinya sendiri juga tidak peduli. Kasus yang sering terjadi di kalangan sekolah bentuk ketidakpedulian pada diri sendiri ialah kebiasaan menyontek, membuang sampah tidak pada tempatnya, vandalisme. Bisa diyakinkan bahwa ketika peserta didik akan menyontek atau membuang sampah di sembarang tempat atau melakukan vandalisme, hati nuraninya pasti berteriak, “ini tindakan tidak terpuji”. Jika tetap melakukan perbuatannya yang tidak benar dengan menyontek, jelaslah ia tidak peduli pada teriakan hati nuraninya. Banyak orang melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri, karena terlena tidak peduli pada dirinya sendiri. Merokok, vandalisme, membuang sampah di sembarang tempat, misuh dengan kata-kata kotor, adalah bentuk-bentuk tindakan tidak peduli pada diri sendiri yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Menyaksikan fenomena tidak sadar lingkungan yang sering terjadi di kalangan pawiyatan, kita dipanggil menjadi contoh/teladan. Terus-menerus menyerukan, dan melakukan tindakan sadar lingkungan. Seruan-seruan bisa dalam bentuk tulisan kata mutiara,lagu penggugah semangat, peringatan, himbauan, atau bahkan larangan-larangan Kita bisa belajar dari negara-negara maju. Singapura dikenal sebagai lambang keteraturan dan efisiensi. Saat ini, negara itu menjadi salah satu pusat keuangan dunia, predikat tersebut diraih tentu dengan perjuangan susah payah. Kampanye awal adalah memperbaiki kebersihan dan higienitas lingkungan. Jaga Kebersihan Singapura (Keep Singapore Clean) dan Tanamlah Pohon (Plant Trees). Ternyata membangun sebuah negara diawali dengan pertama-tama sadar lingkungan. Melakukan tindakan nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Mari kita membangun negara dengan pertama-tama sadar lingkungan. Dimulai dari lingkungan paling dekat: kamar kita, keluarga kita, masyarakat kita, sekolah kita. Jika hal itu terjadi, maka kita sudah berkontribusi memerangi kejahatan ekologis.
*) Kepala Sekolah SMA PL Van Lith – Muntilan